Created by: Ari Yulanda, S.Pd
A. Latar Belakang
Berbicara mengenai dunia pendidikan
tentu tidak akan ada habisnya baik permasalahan maupun pemecahan masalah
pendidikan. Oleh karena itu para guru dituntut untuk menjadi Knowledge Persons (sosok yang
berkelanjutan). Menurut Makagiasar (1996) dalam buku Classroom Action Research (Hamdani, Nizar alam: 2) Memasuki abad 21
pendidikan akan mengalami pergeseran paradigma yang meliputi pergeseran
paradigma (1) dari belajar terminal ke belajar sepanjang hayat (2) dari belajar
berfokus penguasaan pengetahuan ke belajar holistik, (3) dari citra hubungan
guru-murid yang bersifat konfrontatif ke citra hubungan kemitraan, (4)
pengajaran dengan penekanan akademik menjadi keseimbangan fokus pendidikan
nilai, (5) dari kamppaye melawan buta aksara menjadi kampanye malawan buta
teknologi, budaya, komputer, (6) penampilan guru terisolasi ke penampilan dalam
tim kerja , (7) dari orientasi eksklusif kepada kompetisi ke orientasi kerja
sama. Maka posisi guru pada saat ini di hadapkan sebagai agen of change. Guru merupakan jabatan pofesi; guru dituntut untuk
mampu melaksanakan tugasnya secara profesional. Mampu berinovasi secara aktif
dan kreatif dalam memberikan pembelajaran dikelas yang berorientasi kepada
siswa (student oriented) bukan lagi
teacher oriented. Hal itu dapat diaplikasikan dengan alternatif penerapan
berbagai model pembelajaran yang sesuai dengan materi pelajaran dan
perkembangan peserta didik. Oleh karena itulah, dalam kesempatan kali ini saya
ingin mengupas tulisan yang berjudul “Model pembelajaran Contextual Teaching
and Learning (CTL).
B. Tujuan
Adapun tujuannya ingin mengetahui
tentang model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL).Perumusan
C. Pembahasan
Pembelajaran kontekstual adalah
terjemahan dari istilah Contextual Teaching Learning (CTL). Kata contextual
berasal dari kata contex yang berarti “hubungan, konteks, suasana, atau
keadaan”. Dengan demikian contextual diartikan ”yang berhubungan dengan
suasana (konteks). Sehingga Contextual Teaching Learning (CTL) dapat
diartikan sebagi suatu pembelajaran yang berhubungan dengan suasana tertentu.
Pembelajaran kontekstual didasarkan
pada hasil penelitian John Dewey (1916) yang menyimpulkan bahwa siswa akan
belajar dengan baik jika apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah
diketahui dan dengan kegiatan atau peristiwa yang terjadi disekelilingnya.
Pengajaran kontekstual sendiri
pertama kali dikembangkan di Amerika Serikat yang diawali dengan
dibentuknya Washington State Consortum for Contextual oleh Departemen
Pendidikan Amerika Serikat. Antara tahun 1997 sampai tahun 2001 sudah
diselenggarakan tujuh proyek besar yang bertujuan untuk mengembangkan, menguji,
serta melihat efektifitas penyelenggaraan pengajaran matematika secara
kontekstual. Proyek tersebut melibatkan 11 perguruan tinggi, dan 18 sekolah
dengan mengikutsertakan 85 orang guru dan profesor serta 75 orang guru yang
sudah diberikan pembekalan sebelumnya.
Penyelenggaraan program ini berhasil
dengan sangat baik untuk level perguruan tinggi sehingga hasilnya
direkomendasikan untuk segera disebarluaskan pelaksanaannya. Untuk
tingkat sekolah, pelaksanaan dari program ini memperlihatkan suatu hasil
yang signifikan, yakni meningkatkan ketertarikan siswa untuk belajar, dan
meningkatkan partisipasi aktif siswa secara keseluruhan.
Pembelajaran kontekstual berbeda dengan
pembelajaran konvensional, Departemen Pendidikan
Nasional (2002:5) mengemukakan perbedaan antara pembelajaran Contextual
Teaching Learning (CTL) dengan pembelajaran konvensional sebagai berikut:
CTL
|
Konvensional
|
Pemilihan informasi kebutuhan
individu siswa;
|
Pemilihan informasi ditentukan oleh
guru;
|
Cenderung mengintegrasikan
beberapa bidang (disiplin);
|
Cenderung terfokus pada satu bidang
(disiplin) tertentu;
|
Selalu mengkaitkan informasi dengan
pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa;
|
Memberikan tumpukan informasi kepada
siswa sampai pada saatnya diperlukan;
|
Menerapkan penilaian autentik melalui
melalui penerapan praktis dalam pemecahan masalah;
|
Penilaian hasil belajar hanya melalui
kegiatan akademik berupa ujian/ulang
|
Karakteristik Pendekatan Contextual
Teaching Learning (CTL)
Pembelajaran kontekstual melibatkan
tujuh komponen utama dari pembelajaran produktif yaitu : konstruktivisme
(Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry),
masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modelling),
refleksi (Reflection) dan penilaian yang sebenarnya (Authentic
Assessment) (Depdiknas, 2003:5).
1. Konstruktivisme (Constructivism)
Setiap individu dapat
membuat struktur kognitif atau mental berdasarkan pengalaman
mereka maka setiap individu dapat membentuk konsep atau ide baru, ini dikatakan
sebagai konstruktivisme (Ateec, 2000). Fungsi guru disini membantu membentuk
konsep tersebut melalui metode penemuan (self-discovery), inquiri dan
lain sebagainya, siswa berpartisipasi secara aktif dalam membentuk ide baru.
Menurut Piaget pendekatan
konstruktivisme mengandung empat kegiatan inti, yaitu :
1)
Mengandung pengalaman nyata (Experience);
2) Adanya
interaksi sosial (Social interaction);
3) Terbentuknya
kepekaan terhadap lingkungan (Sense making);
4) Lebih
memperhatikan pengetahuan awal (Prior Knowledge).
Konstruktivisme merupakan landasan
berpikir (filosofi) pendekatan kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun
oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang
terbatas.
Pengetahuan bukanlah seperangkat
fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap diambil atau diingat. Manusia harus
mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Berdasarkan
pada pernyataan tersebut, pembelajaran harus dikemas menjadi proses
“mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan (Depdiknas, 2003:6).
Sejalan dengan pemikiran Piaget
mengenai kontruksi pengetahuan dalam otak. Manusia memiliki struktur
pengetahuan dalam otaknya, seperti kotak-kotak yang masing-masing berisi
informasi bermakna yang berbeda-beda. Setiap kotak itu akan diisi oleh
pengalaman yang dimaknai berbeda-beda oleh setiap individu. Setiap pengalaman
baru akan dihubungkan dengan kotak yang sudah berisi pengalaman lama
sehingga dapat dikembangkan. Struktur pengetahuan dalam otak manusia
dikembangkan melalui dua cara yaitu asimilasi dan akomodasi.
2. Bertanya (Questioning)
Bertanya merupakan
strategi utama dalam pembelajaran kontekstual. Kegiatan
bertanya digunakan oleh guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan
berpikir siswa sedangkan bagi siswa kegiatan bertanya merupakan bagian penting
dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inquiry.
Dalam sebuah pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna
untuk :
1)
Menggali informasi, baik administratif maupun akademis;
2)
Mengecek pengetahuan awal siswa dan pemahaman siswa;
3)
Membangkitkan respon kepada siswa;
4)
Mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa;
5)
Memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru;
6)
Membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa;
7)
Menyegarkan kembali pengetahuan siswa.
3. Menemukan (Inquiry)
Menemukan merupakan
bagian inti dari pembelajaran berbasis CTL. Pengetahuan
dan keterampilan yang diperoleh siswa bukan hasil mengingat seperangkat
fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri (Depdiknas, 2003). Menemukan
atau inkuiri dapat diartikan juga sebagai proses pembelajaran didasarkan pada
pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Secara umum
proses inkuiri dapat dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu :
1)
Merumuskan masalah ;
2)
Mengajukan hipotesis;
3)
Mengumpulkan data;
4)
Menguji hipotesis berdasarkan data yang ditemukan;
5)
Membuat kesimpulan.
Melalui proses berpikir yang
sistematis, diharapkan siswa memiliki sikap ilmiah, rasional, dan
logis untuk pembentukan kreativitas siswa.
4. Masyarakat belajar (Learning
Community)
Konsep Learning Community
menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain.
Hasil belajar itu diperoleh dari sharing antarsiswa, antarkelompok, dan antar
yang sudah tahu dengan yang belum tahu tentang suatu materi. Setiap elemen
masyarakat dapat juga berperan disini dengan berbagi pengalaman (Depdiknas,
2003).
5. Pemodelan (Modeling)
Pemodelan dalam pembelajaran
kontekstual merupakan sebuah keterampilan atau pengetahuan tertentu dan
menggunakan model yang bisa ditiru. Model itu bisa berupa cara mengoperasikan
sesuatu atau guru memberi contoh cara mengerjakan sesuau. Dalam arti guru
memberi model tentang “bagaimana cara belajar”. Dalam pembelajaran kontekstual,
guru bukanlah satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan
siswa.
Menurut Bandura dan Walters, tingkah
laku siswa baru dikuasai atau dipelajari mula-mula dengan mengamati dan meniru
suatu model. Model yang dapat diamati atau ditiru siswa digolongkan menjadi :
- Kehidupan yang nyata (real life), misalnya orang tua, guru, atau orang lain.;
- Simbolik (symbolic), model yang dipresentasikan secara lisan, tertulis atau dalam bentuk gambar ;
- Representasi (representation), model yang dipresentasikan dengan menggunakan alat-alat audiovisual, misalnya televisi dan radio.
6. Refleksi (Reflection)
Refleksi merupakan cara berpikir
tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa yang
sudah kita lakukan di masa lalu. Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya
sebagai struktur pengetahuan yang baru. Struktur pengetahun yang baru ini
merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi
merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahun yang baru
diterima (Depdiknas, 2003).
Pada kegiatan pembelajaran, refleksi
dilakukan oleh seorang guru pada akhir pembelajaran. Guru menyisakan waktu
sejenak agar siswa dapat melakukan refleksi yang realisasinya dapat berupa :
- Pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperoleh pada pembelajaran yang baru saja dilakukan.;
- Catatan atau jurnal di buku siswa;
- Kesan dan saran mengenai pembelajaran yang telah dilakukan.
7. Penilaian yang sebenarnya (Authentic
Assessment)
Penilaian autentik merupakan proses
pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar
siswa agar guru dapat memastikan apakah siswa telah mengalami proses belajar
yang benar. Penilaian autentik menekankan pada proses pembelajaran sehingga
data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa
pada saat melakukan proses pembelajaran.
Karakteristik authentic assessment
menurut Depdiknas (2003) di antaranya: dilaksanakan selama dan sesudah proses
belajar berlangsung, bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif, yang
diukur keterampilan dan sikap dalam belajar bukan mengingat fakta,
berkesinambungan, terintegrasi, dan dapat digunakan sebagai feedback. Authentic
assessment biasanya berupa kegiatan yang dilaporkan, PR, kuis, karya siswa,
prestasi atau penampilan siswa, demonstrasi, laporan, jurnal, hasil tes tulis
dan karya tulis.
Demikian secara
singkat pembahasan Model
pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) ini, semoga bermanfaat bagi
kita semua nantikan posting berikutnya dari saya.......
DAFTAR PUSTAKA
Departemen
Pendidikan Nasional. 2003. Pendekatan Kontekstual. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.
Nurhadi.
2003. Pendekatan Kontekstual. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar